“Kampung Adat Ratenggaro punya sumber daya alam yang indah, kami juga punya kerajinan tangan yang menjadi warisan turun temurun, seperti tenun, seni pahat, dan suvenir lainnya. Semuanya dicintai para pendatang,” tutur Mariana Karere, salah satu perwakilan kaum perempuan yang aktif mengembangkan wisata di Desa Maliti Bondo Ate, tepatnya Kampung Adat Ratenggaro (KAR), Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).
Sejak tahun 2019, Meri, begitu ia akrab disapa, mengikuti program dua tahun pengembangan pariwisata desa yang dilakukan oleh Institute of Research and Empowerment (IRE). Program ini diberi judul Memperkuat Desa dalam Mengembangkan Pariwisata Berbasis Sumber Daya Alam dan Budaya Setempat, disingkat Desa Wisata Sumba, dan didukung oleh William & Lily Foundation (WLF). Melalui program ini, dua desa di Kabupaten Sumba Barat Daya menjadi area percontohan program atau lebih dikenal dengan wilayah dampingan, yaitu Desa Maliti Bondo Ate, khususnya KAR, dan Desa Pero Konda.

Menurut Meri, masyarakat sudah sadar akan potensi wisata yang ada di KAR. Keindahan alamnya pun sudah cukup menjadi daya tarik bagi para pengunjung. Namun sayang, banyak hal yang belum dikembangkan karena keterbatasan sumber daya manusia. Akses informasi dan pengembangan kapasitas lembaga adat sebagai pengelola wisata juga masih terbatas.
“Saya sudah ikut pelatihan pengembangan wisata desa yang difasilitasi IRE. Dari situ kami sadar, bahwa wisata desa kami dapat lebih menarik wisatawan jika didukung dengan masyarakat yang saling bekerja sama dan terus mau belajar. Ternyata, sesederhana cara menyambut tamu dengan ramah tamah dan tersenyum berpengaruh dalam menciptakan kenyamanan bagi penikmat wisata desa,” tambah Meri.
Ryan Peter, selaku Project Coordinator WLF, menyampaikan bahwa pelatihan-pelatihan yang difasilitasi IRE memang menyasar pada peningkatan soft skill masyarakat terkait pengembangan pariwisata. “Tujuannya sederhana, masyarakat diajak mengenali potensi lokal, berlatih bagaimana cara menyambut pengunjung, dan memahami pentingnya peraturan bagi pengelolaan kampung. Sekarang tujuannya agar masyarakat dapat sampai ke tahap knowing sehingga nanti bisa berkembang menjadi doing,” ungkap Ryan.
Dari keterlibatan Meri dalam pelatihan pengembangan wisata desa, Ia mulai menuai mimpi untuk membentuk kelompok perempuan yang berfokus mengembangkan kerajinan tangan lokal, salah satunya karya tenun. Harapan ini muncul sejak terbentuknya kelompok Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) melalui program Desa Wisata Sumba. Meri juga mendedikasikan dirinya menjadi Ketua BUMDes yang beranggotakan 13 orang.
“Saya ingin bentuk kelompok perempuan untuk mengembangkan wisata Sumba agar selalu indah dan alami seperti ini. Mimpi saya, kelompok tersebut akan mendorong para perempuan, baik ibu-ibu maupun anak muda, untuk mengembangkan kemampuan menenun dan membuat souvenir lainnya. Sambil belajar juga mengelola keuangan. Saya bisa sibuk mengurus rumah, berkebun, bahkan berkarya dan menjual hasil karya saya sebagai tambahan pemasukan keluarga. Saya yakin orang lain juga bisa. Makanya mimpi saya ingin membuat kelompok perempuan, agar kita semua dapat saling mendorong dan belajar,” ungkapnya penuh semangat.
Semoga kisah Meri dapat menginspirasi kaum perempuan dan pemuda kampung bahkan desa, untuk semakin mengambil bagian dalam pengembangan wisata lokal. Sinergi di masyarakat diyakinkan Meri, tidak hanya menjadi daya pikat bagi wisatawan, tetapi juga menjadi modal kuat untuk menarik dukungan berbagai pemangku kepentingan mulai dari tingkat kampung, desa, hingga kabupaten dalam mewujudkan desa wisata.
Ditulis oleh:
Stella Arya
Communications & Outreach Consultant
William & Lily Foundation