“Menjadi guru kelas 1 adalah tantangan besar untuk saya di SDM Wee Kombaka 1 karena siswa berasal dari rumah tangga yang belum mengenal huruf. Diperlukan upaya ekstra untuk bisa membantu siswa mengejar ketertinggalan yang disebabkan absennya pendidikan PAUD sebelum mereka masuk SD.” Selviana Renda (Guru Kelas 1 SDM Wee Wombaka).
Di Sumba Barat Daya, ada satu istilah yang kerap digunakan oleh para guru di tingkat Sekolah Dasar yaitu anak dari rumah tangga. Istilah anak dari rumah tangga merujuk pada anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan PAUD atau TK sebelum mereka memasuki Sekolah Dasar. Fenomena anak dari rumah tangga disebabkan oleh kondisi di Sumba Barat Daya yang masih menghadapi keterbatasan institusi PAUD atau TK di wilayah pedesaan. Salah satu wilayah yang menghadapi fenomena anak dari rumah tangga adalah wilayah Wee Kombaka, Kecamatan Wewewa Barat. Di Wee Kombaka, banyak orang tua yang langsung mendaftarkan anaknya ke Sekolah Dasar terdekat ketika sudah menginjak usia 6 tahun tanpa melalui pendidikan di PAUD terlebih dahulu. Mayoritas orang tua juga memiliki latar belakang pendidikan yang masih rendah sehingga mereka tidak dapat memberikan upaya pendampingan seperti mengajarkan anak-anaknya membaca dan menulis. Bahkan, beberapa orang tua murid justru masih banyak yang tidak bisa membaca dan menulis.
Kondisi ini tentunya menimbulkan keresahan bagi para guru di Sekolah Dasar, tak terkecuali Ibu Selviana Renda atau yang biasa dipanggil Ibu Selvi. Ibu Selvi merupakan salah satu guru kelas awal SDM Wee Wombaka yang telah mengajar selama 8 tahun di kelas 1 sejak tahun 2015. Ibu guru berusia 38 tahun yang masih berstatus sebagai tenaga honorer ini bercerita tentang berbagai keresahan dan tantangan yang dihadapi selama ini dalam mengajar. Banyaknya murid baru yang berasal dari rumah tangga membuat Ibu Selvi harus bekerja lebih keras untuk mengisi kesenjangan yang muncul karena anak-anak tidak mendapatkan pendidikan di PAUD sebagai fondasi sebelum masuk SD. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh Ibu Selvi adalah ketika ia mengajarkan anak-anak kelas 1 membaca dan menulis.
Selama 8 tahun, Ibu Selvi menjalankan proses pembelajaran yang repetitif dan monoton tanpa adanya inovasi atau variasi metode pengajaran agar menarik perhatian anak-anak. Ibu Selvi dan rekan-rekan guru lainnya tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang metode pembelajaran khususnya dalam mengajar siswa membaca dan menulis. Ia juga menjalankan metode pengajaran tanpa menggunakan media pembelajaran khusus yang kreatif. Sebagai contoh, dalam mengenalkan huruf kepada anak-anak, Ibu Selvi hanya menuliskan semua huruf dari A-Z di papan tulis, meminta siswa menulis di buku tulis masing-masing, dan juga menghafalkan huruf sesuai urutan alfabet. Selanjutnya, setelah anak-anak hafal dengan huruf-huruf tersebut, ia mencoba mengajarkan suku kata dengan ejaan seperti ba-bi-bu, ca-ci-cu, dan seterusnya. Proses belajar mengajar bersifat satu arah dan cenderung membuat siswa pasif.
“Cara mengajar yang saya pakai sebelumnya terlalu banyak kelemahannya, walaupun ada beberapa siswa yang akhirnya bisa membaca dan menulis. Masih banyak siswa yang lambat memahami, karena seolah-olah siswa pada usia yang masih kecil dipaksakan untuk menghafal huruf-huruf tersebut. Bahkan tidak sedikit siswa yang meninggalkan sekolah karena mungkin pembelajaran yang diberikan masih terlalu sulit untuk mereka,” keluh Ibu Selvi.
Fenomena yang dialami oleh Ibu Selvi mendorong William & Lily Foundation bekerja sama dengan Adaro Foundation dalam mendukung Yayasan Literasi Anak Indonesia (YLAI) untuk melaksanakan Program Pengembangan Literasi Dasar di Sumba Barat Daya sejak bulan Juni 2021 hingga Mei 2023. Program ini bertujuan untuk memberikan pelatihan kepada guru-guru kelas awal menggunakan Program Membaca Berimbang, agar para guru tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam mengajar anak-anak kelas rendah khususnya untuk pelajaran membaca dan menulis. Dalam implementasinya, Program Pengembangan Literasi Dasar menggunakan berbagai pendekatan seperti:
a) Peningkatan kapasitas guru di sekolah sasaran dalam mengimplementasikan Program Membaca Berimbang
b) Peningkatan dukungan kepala sekolah terhadap pengembangan literasi pada kelas awal.
c) Penguatan KKG sebagai wadah bagi guru untuk berbagi ilmu dan memberikan dukungan kepada rekan sejawat.
d) Advokasi kepada Pemerintah Sumba Barat Daya, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberikan dukungan bagi kelanjutan Program Membaca Berimbang.
Program Membaca Berimbang yang digunakan dalam program ini terdiri dari beberapa metodologi membaca yang inovatif untuk memberikan dukungan khusus dalam menerapkan program membaca yang kuat di kelas-kelas awal. Membaca Berimbang terdiri dari 6 komponen. Tiga komponen pertama fokus pada pengembangan budaya membaca di kelas, siswa termotivasi untuk membaca melalui lingkungan kelas yang ditunjang oleh adanya buku bacaan yang menarik dan sudut baca, dan kegiatan membaca buku bergambar secara teratur oleh guru dalam kegiatan Membaca Interaktif. Sedangkan tiga komponen kedua berkaitan dengan pengembangan keterampilan melalui mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
“Saya masih ingat pelatihan Membaca Berimbang pertama kali yang saya ikuti di bulan Oktober 2021. Sejak pelatihan tersebut, saya merasa lebih semangat untuk belajar hal-hal baru seputar membaca dan menulis, khususnya ketika mendapatkan ilmu pengetahuan baru terkait literasi siswa di kelas rendah. Dari semua materi pelatihan terkait Membaca Berimbang, ada satu materi khusus untuk guru kelas 1 yang saya rasa sangat bermanfaat dan memberikan warna baru bagi metode pembelajaran saya, yaitu Fonik. Saya merasa pembelajaran Fonik merupakan dasar bagi siswa kelas 1 untuk dapat mengenal huruf lewat metode dan media yang sangat menarik. Siswa tidak hanya dikenalkan nama-nama huruf tetapi juga bunyi hurufnya. Itu ilmu baru bagi saya, ternyata ketika siswa bisa membunyikan huruf dengan tepat, mereka menjadi lebih mudah dalam mengeja atau membaca,” terang Ibu Selvi.
Tidak hanya itu, pelatihan dalam forum Kelompok Kerja Guru (KKG) di bawah Program Pengembangan Literasi Dasar turut meningkatkan kepercayaan diri Ibu Selvi sebagai seorang guru karena pengetahuan dan kemampuan mengajar beliau menjadi lebih baik. Beliau juga memiliki kesempatan untuk berinteraksi dan berbagi ilmu dengan guru lainnya melalui KKG yang aktif. Di dalam kelas, Ibu Selvi sudah mulai menggunakan metode dan bahan ajar yang menarik bagi murid-muridnya. Suasana kelas yang interaktif memberikan dampak positif bagi siswa karena mereka dapat menikmati proses pembelajaran yang lebih menyenangkan dan lebih mudah memahami huruf melalui cerita yang dibacakan guru. Lingkungan kelas literat yang diciptakan melalui program ini juga menunjang proses belajar mengajar dengan buku-buku bacaan sederhana yang bisa dinikmati para siswa dalam kegiatan Membaca Mandiri. Berbagai perubahan positif tersebut turut meningkatkan tingkat kehadiran siswa di dalam kelas.
“Saat ini, hampir seluruh siswa di kelas saya sudah kenal huruf dan bunyi huruf bahkan sudah ada yang lancar membaca kata dan kalimat sederhana. Ini sangat berbeda sekali sebelum adanya kegiatan dari Program Pengembangan Literasi Dasar. Yang paling penting adalah bagaimana guru terus berinovasi dalam menciptakan suasana belajar di kelas yang lebih hidup dan sangat interaktif. Harapan saya, semoga program ini juga bisa dirasakan oleh sekolah lainnya di Sumba Barat Daya,” ujar Ibu Selvi dengan mata berbinar.
Ditulis oleh: Marfi (YLAI)
Disunting oleh: Mariska (WLF)