19th Ave New York, NY 95822, USA

Upaya Lembaga Adat Ratenggaro Melestarikan Wisata Sumba di Tengah Pandemi

Kampung Adat Ratenggaro (KAR) yang terletak di Desa Maliti Bondo Ate, Kabupaten Sumba Barat Daya, tidak hanya memiliki keindahan alam yang indah bagi sektor wisata, tetapi saat ini juga mulai menata lembaga adat sebagai ujung tombak pengelolaan wisata lokal. Sejak tahun 2019, Institute of Research and Empowerment (IRE) melalui dukungan dari William & Lily Foundation memfasilitasi pembentukan lembaga adat KAR sebagai organisasi pengelola sektor wisata. Upaya ini merupakan bagian dari program “Memperkuat Desa dalam Mengembangkan Pariwisata Berbasis Sumber Daya Alam dan Budaya Lokal” di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Koordinator Lembaga Adat Ratenggaro, Yohanes Odo Ate mengatakan bahwa lembaga adat dapat menjadi wadah inovasi bagi pengembangan wilayah dan juga sumber daya manusia. Pembentukan lembaga adat menyempurnakan peraturan desa (perdes) yang memberlakukan retribusi dan mengatur pengelolaan penginapan.

“Perdes disahkan pada bulan Desember 2019. Kami, lembaga adat, melakukan pra kondisi untuk melihat efektivitas pemberlakuan perdes dan akhirnya mengukuhkan struktur dan mengesahkan lembaga adat. Kami menjalani berbagai pelatihan untuk memperkuat lembaga adat sebagai organisasi pengelola kampung dan wisata,” ungkap Hani, sebutan akrab Yohanes Odo Ate.
Dari beragam pelatihan yang diikutinya, ada dua hal yang paling berkesan baginya, di antaranya pelatihan penguatan kapasitas struktur terutama untuk penguatan manajemen dan pelatihan sosial media. Menurutnya, pelatihan penguatan lembaga sangat bermanfaat bagi pengelolaan kampung dan wisata lokal.
“Kalau strukturnya jelas, kita lebih mudah mengenali fungsi masing-masing, sehingga mendorong masing-masing anggota melakukan tanggung jawabnya. Pelatihan ini membuat kita dapat banyak inspirasi dan motivasi, termasuk dalam mengatur keuangan. Kini kami sudah merasakan manfaatnya secara signifikan. Pendapatan wisata KAR sudah dapat berkontribusi bagi pemasukan Desa Maliti Bondo Ate sebesar 35%, sisanya kami alokasikan untuk pengelolaan internal kampung,” ceritanya.
Di samping itu, pelatihan media sosial juga telah mendorong 75 anggota lembaga adat KAR mengenali kanal media sosial selain facebook. Pelatihan ini membuat masyarakat lebih “melek digital”. Masyarakat mulai melakukan promosi kampung melalui instagram, twitter, dan youtube, baik secara kelompok maupun melalui akun pribadi.

“Ternyata dengan memaksimalkan pemanfaatan media sosial, kami jadi bisa kreatif mengembangkan posting-an untuk lebih menarik bagi para penikmat wisata. Pengetahuan tentang penggunaan media sosial ini sangat berguna bagi kami selama pandemi. Kami bisa tetap aktif mempromosikan sumber daya wisata kami,” tambah Hani.
Selain pemandangan alam yang menjadi potensi wisata, lembaga adat juga mempromosikan tradisi lokal seperti kerajinan tangan, rumah adat, batu kubur megalitik, dan atraksi berkuda “pasola” yang diakui Hani membawa pengaruh terhadap perekonomian lokal. Kemampuan ber-media sosial ini dijadikan modal kuat bagi lembaga adat untuk mengembalikan produktivitas pariwisata lokal pasca pandemi di masa depan.
Untuk memastikan keberlanjutan lembaga adat, Hani mengupayakan pembentukan sekretariat khusus sebagai wadah para anggota dalam bertukar pikiran, inspirasi, dan pengalaman demi memperkuat wisata lokal KAR. Lembaga adat juga akan melakukan evaluasi rutin untuk terus mengembangkan pengelolaan kampung.
“Mimpi saya adalah supaya KAR bisa menjadi contoh dan motivasi bagi kampung dan bahkan desa lain untuk bersaing secara positif, karena daerah lain juga memiliki pusat wisata dan daya tarik masing-masing mulai dari sumber daya alam, maupun tradisi dan budaya. Saya percaya, produk lokal seperti tenun tidak hanya menarik wisatawan dari segi kualitas, tapi juga cerita di balik kerajinan masyarakat,” kata Hani ungkapkan harapannya.

Ditulis oleh:
Stella Arya
Diperbaharui oleh: ME